Menyapa (dan Membaca) Pak Harto, Menimbang Kembali Seni Publik

oleh Halim HD


(Catatan ini telah diorasikan di depan gedung Bank Indonesia, Yogyakarta, Sabtu 26 Desember 2009, sebagai bagian dari rangkaian Biennale Jogja X)

Tak jauh dari podium ini, selemparan batu dari hadapan saya, dari tempat kita berkumpul ini, sebuah tugu, sebuah monumen (seni publik) didirikan pada tahun 1970-an awal. Orde Baru baru seumur jagung. Tapi sebuah kekuasaan memulai memberikan tanda untuk dirinya dan menyatakan kepada warga, bahwa di sini hadir dan di sini pula dirinya menyatukan kekinian dan masa lampau yang direntangkannya ke masa yang akan datang, sebuah himpunan ingatan tentang peristiwa. Sependek ingatan saya, pada waktu itu tak sedikit orang memberikan pandangan kritis dan menganggap bahwa peristiwa itu sesungguhnya tak lebih besar dibandingkan misalnya dengan Hijrah Siliwangi atau 10 November Surabaya. Pada sisi lainnya, perdebatan lebih memanas pada porsi pertanyaan siapa sesungguhnya yang memainkan peranan. Rebutan posisi dan fungsi di masa lampau terus-menerus direkonstruksi melalui lidah, ludah dan upaya pembenaran akademis.

Di antara itu, ada juga yang iseng, yang secara dramatis, dan saya kira kurang proporsional, membandingkan antara S(erangan) O(emoem) 1 Maret dengan Long March Mao Tze-tung dan pengepungan benteng Dien Bien Phu oleh Ho Chi-minh, dan memandang sebelah mata SO-1Maret. Tak ada salahnya melakukan perbandingan. Tapi mereka lupa, bahwa sebuah ruang sejarah tak pernah bisa dan dapat diperbandingan dan diukur secara eksak melalui sebuah parameter seperti mengukur luas sebuah kamar. Beda ruang tentu beda makna, beda nilai, beda perspektif, dan pasti beda kepentingan. Sebab, pada dasarya sejarah adalah ruang kekhilafan dan juga harapan, wilayah di mana orang melakukan prediksi demi kepentingan, suatu konstruksi untuk menyatakan kehadiran rangkuman waktu, momentum yang/untuk meneguhkan keberhasilan kekuasaan. Dan kita juga mesti ingat, sebuah bangsa (tepatnya sebuah kuasa) selalu berusaha membuat sejarahnya sendiri yang seakan-akan megah, apapun maknanya kini dan nanti. Yang pasti, perlu dan penting untuk dihadirkan dan didesakan kepada publik. Sebuah kekuasaan (politik dan ekonomi) senantiasa menganggap warga sebagai tempolong. Apalagi yang bikin sejarah sedang punya dan mengendalikan kekuasaan. Itulah makanya ada ungkapan sejarah adalah milik para pemenang. Dan para pemenang senantiasa pula memiliki selera, bahkan nafsu yang besar kepada ruang publik: wilayah tempat di mana dirinya menancapkan citra, memori dan sekaligus untuk mengendalikan jalannya arah waktu melalui ingatan demi ingatan yang terus-menerus diperhadapkan kepada warga, melalui seni publik, monumen, tugu.

Jadi, kekuasaan = sejarah = monumen =  seni publik.

Kita tak mesti begitu repot untuk memperbandingkan. Lihatlah dari sini, juga selemparan batu, kita sesungguhnya secara kasat mata diajarkan oleh monumen (seni publik), tanpa harus menjentreng-jentreng teori yang mungkin ruwet dan bisa bikin ribet isi kepala kita: (bekas) benteng Vrederburg dan (bekas) rumah dinas residen Belanda yang sejak lama dijadikan Gedoeng Agoeng milik Republik Indonesia, untuk tempat pesta, upacara dan menginap bagi mereka yang dianggap Wong Agung, domestik maupun manca, yang sampai kini hadir dan dihimpitkan keberadaannya dan bersanding menjadi tanda sejarah bagi kontrol kekuasaan kolonial terhadap kekuasaan tradisi Kasultanan Jogjakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman.

Dari kota yang banyak menabalkan diri dengan berbagai macam sebutan seperti kota pendidikan, kota kebudayaan, kota pariwisata, kota revolusi, kota gudeg, kota tradisi dan mungkin sebutan-sebutan lainnya akan ditabalkan kepada kota ini untuk menunjukan begitu berkembangnya citra Jogjakarta. Dan jangan lupa pula: kota dagadu! Ini sebutan yang sesungguhnya paling asyik, dab! Jika saya membandingkan sebuah kota dengan seseorang, semakin banyak keinginan mendapatkan sebutan ditabalkan kepada dirinya, bukan tidak mungkin kota ini (dan seseorang itu) sedang mengalami dis-orientasi, atau sejenis krisis, krisis spasial dan krisis eksistensial.

Krisis spasial: orang berebut ruang agar dirinya berada; bukan hanya berada dalam kesendirian tapi ada-bersama, hadir dalam kebersamaan. Itu idealnya. Mungkin 'kita'¯ di sini menganggap diri kita ada-bersama, tapi juga mungkin tidak. Sebab, ruang yang kita hadiri, kita masuki di sini rasa-rasanya seeh bukan milik kita. Dalam ruang yang rasanya asing ini, di ruang terbuka ini, saya agak gugup. Gemetar, karena rasanya saya hanya bertemu dengan segerombolan orang, massal, dan bukan personal. Kota melalui politik ekonominya seperti juga para partai membuat orang kian terasing, dan hanya segerombolan. Dan hal itu bisa jadi diawali sejak dari masa lampau.

Mungkin dis-orientasi atau sejenis krisis paling awal ketika rel kereta api dan berdirinya stasiun yang sekarang disebut stasiun Tugu. Rel kereta yang membentang kira-kira dari arah Timur-Barat-Timur yang menghubungkan beberapa ruas ruang kota dan daerah sekitar Jogjakarta itu memotong titik pandang meditatif-metafisik Siti Hinggil-Tugu-Gunung Merapi yang menjadi titik pemusatan sejenis samadi pemangku kekuasaan tradisi. Kalau di Solo rel kereta api membelah antara Kraton Surakarta Hadiningrat dengan Pura Mangkunegaran. Maka ada ungkapan Lor rel, Kidul rel, menjaga konstelasi dan kontrol politik hubungan dua kekuasaan tradisi. Sementara di Jogjakarta, pembelahan itu sangat mungkin bukan hanya sekedar politis, tapi juga metafisis. Itu dari jaman lampau. Dan sisa dari masa lampau ini tak pernah mati. Mungkin, atau bisa jadi diri kita telah kehilangan sejenis gora raga, inner energy yang mampu menyebarkan vibrasi, getaran dari ruang batin kita kepada sesama kita.

Dari kekuasaan kiwari juga ketika kekuasaan Orde Baru masih digdaya muncul tandingan Gunung Merapi di Utara kota Jogjakarta. Lihatlah misalnya monumen yang kayak gunung atau tumpeng di Utara kota yang juga mengingatkan kita kepada pak Harto: sebuah tanda untuk mengalihkan arah pandang atau menjadi bandingan serta tandingan Gunung Merapi. Di kota inilah, Jogjakarta, sejenis perebutan (baca: kudeta) tanda sejarah terjadi, dan terus dilanggengkan. Apakah ini bukan isyarat kepada kita, bahwa ada jejak sejarah yang saling tuding dan saling tanding yang bisa membuat kita tidak bisa bersanding?

Pertanyaan kita, siapakah sesungguhnya yang menjadi korban dari perebutan kekuasaan (sejarah ruang) itu? Adakah hanya elite tradisi pemegang kuasa wilayah? Padahal kita tahu pula sebagian dari elite itu justeru menikmati kudeta demi kudeta yang berkaitan dengan posisi politisnya. Perkebunan tebu dan pabrik gula serta berbagai infra struktur lainnya jelas-jelas menguntungkan yang punya kuasa, tradisi maupun kolonial. Tentu ada korban, sebagian darinya. Namun, apabila kita menelusuri lebih mendalam, korban dari kudeta itu paling parah adalah warga: korban ganda atas kekuasaan tradisi yang feodal dan ditambah dengan kekuasaan kolonial.

Dan hingga kini, warga secara terus menerus menjadi korban kudeta demi kudeta tanda dan sejarah di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Singkat kata, pada dasarnya semua sistem kekuasaan politik (dan ekonomi) menciptakan korban.

Selemparan batu dari podium ini, di pelataran monumen itu pula, setelah setahun-dua monumen berdiri, batu dan kata-kata dinyatakan oleh serombongan mahasiswa yang berusaha menolak sebuah rejim kekuasaan. Itu terjadi pada Januari 1974. Dan itulah salah satu awal penentangan secara langsung kepada kekuasaan secara terbuka yang sejak beberapa bulan sebelumnya rombongan demi rombongan mahasiswa turun ke jalanan.

Tentu saja kini kita tak membutuhkan lagi batu. Yang tertinggal hanya warna dan kata-kata di ujung lidah yang bercampur dengan ludah basi yang bertahun-tahun tak menemukan tempat berlabuh, bahkan tak sebuah kupingpun mendengarkan apa yang dikatakan oleh siapapun untuk menyatakan pertanyaan bahwa kota ini milik siapa? Adakah warga memilikinya? Jika yaa, mengapa pula begitu banyak bangunan yang tak melalui suara warga, dan mengapa pula pengelola kota dan penguasa tradisi begitu getol dengan mall? Dan kenapa pula ruang-ruang publik semakin menyusut.

Memandang dan merasakan kota ini yang kian penuh warna warni oleh cahaya tapi bukan dari lampu warga, dan kian gemuruh oleh suara produksi industri, dan begitu sulitnya tubuh direbahkan di suatu sudut kota, dan bahkan tak sebuah tamanpun yang cukup lumayan untuk dijadikan tempat bercengkerama, membuat saya kian ragu bahwa republik (kota) ini yang konon sebagai pusat kebudayaan dan peradaban benar dari, oleh dan untuk rakyat. Ada begitu banyak suara berseliweran di sekitar kita. Tapi, dimana sesungguhnya tempat suara itu berlabuh dan diwujudkan ke dalam suatu ruang di mana mereka bisa bukan hanya bertemu tapi juga berdialog mewujudkan impiannya, harapan, atau bahkan sekedar untuk rendevous?

Dari sejumlah masalah itu, kita bisa bertanya-tanya, dimana pula seni publik yang benar-benar dari publik, dari warga yang menyuarakan suara dan menyatakan dirinya? Saya dengar dan sesekali saya lihat ada, konon, seni publik yang dikerjakan oleh segelintir atau sejumlah seniman atas nama apalah namanya, terserah. Tapi, kenapa pula tak ada rasa asin dan bau keringat itu, di sana? Dari warna warni seni publik yang berserakan dan kadang (atau bahkan!) merusak pandangan mata, saya mencium bau parfum: sejenis kegenitan OKB yang memajangkan diri di sekitar ruas jalan, mejeng,  mempertontonkan tubuhnya yang gelisah dikoloni dan dikeloni oleh sistem  dan menyisakan cupang industri.

Saya kira, mungkin ada segelintir seniman yang berusaha melakukan kudeta di ruang-ruang kota. Memandang rejim kota, kadang-kadang saya berpikir ada baiknya kaum seniman melakukan kudeta terhadap berbagai ruang agar kota tak tidur oleh rasa puas hanya karena pendapatan daerah meningkat sekian prosen. Sejenis gerakan gerilya kesenian mungkin dibutuhkan untuk menyatakan sejenis partisipasi. Tapi adakah kaum gerilyawan kesenian ini lihai mengorganisir dan menyasar ruang yang tepat, sehingga karyanya organik dengan lingkungannya dan organik pula sebagai bibit inspirasi bagi warga? Itu akan menjadi soal yang terus menerus bagi siapa saja yang memasuski ruang publik di manapun. Kita memang membutuhkan benar sejenis sub-versif untuk mengisi kota ini agar kota tidak menjadi seragam, dan kota tidak identik hanya dengan jual-beli.

Tapi, rasanya di negeri ini, di kota ini, kini kenapa pula gerilya dan sub-versif selalu identik dengan kudeta? Saya menangkap dan merasakan impresi seperti itu juga dalam kehidupan kaum seniman. Kenapa kaum seniman juga masuk kedalam mekanisme psikologis kekuasaan, dan menyeret-nyeret masa lampau? Adakah kaum seniman sudah kehilangan kapasitas untuk menyapa, tak ada lagi kata, tak lagi mampu menciptakan bahasa?  Jika kaum seniman memasuki pola kekuasaan politik (dan ekonomi), maka kudeta demi kudeta akan terjadi. Dan hal itupun bukan karena dirinya. Sangat mungkin sejenis tangan terselubung, hidden hand atau apalah namanya yang menjadikan dirinya sekedar pelatuk atau bahkan cuma sekrup. Seni (publik), Seni (publik), Lama Sabacthani! Tulis seorang warga di milis 'warung gayeng'.

Omong-ngomong soal kudeta, rasanya di negeri ini tak pernah tidak menumpahkan korban. Karena setiap kudeta di negeri ini demi kekuasaan bagi dirinya sendiri. Sudah pasti, korbannya bukan pelaku. Tapi, warga. Kudeta tak pernah menciptakan bahasa, tidak pernah menyapa. Yang ada cuma luka.

Di sini, di selemparan batu dari sini kearah seni publik yang ingin mengenang pak Harto dan kaum kolonial, dan sementara kota dikepung oleh seni publik, banner dan  bangunan ekonomi, dan berusaha meresapi, merenungi semuanya, saya kira, sebaiknya kaum pelaku seni publik, seniman, menyadari bahwa kudeta tak lagi kita butuhkan, dan sebaiknya hanya sampai pak Harto saja setelah kaum kolonial meninggalkan jejak yang mendalam di dalam pikiran dan seluruh denyut perasaan kita. Mungkin kita butuh sejenis strategi dialogis, sehingga seni publik bisa menjadi organik dan bangkit kembali dari kehancuran persepsi tentangnya yang dimulai oleh suatu rejim kekuasaan. Jika tidak, kota ini akan terus menerus menjadi medan pertempuran. Dan hal itu tak menyisakan apapun, kecuali luka sejarah.